Suara.com - Panjang nan berliku, penantian lama akan adanya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP akhinya berakhir. Selasa 6 Desember 2022 bakal menjadi hari bersejarah, di mana DPR RI resmi mengetok palu pengesahan RKUHP menjadi KUHP.
Penantian panjang pembahasan RKUHP yang telah dimulai sejak 1958 selesai sudah. Namun faktanya, pengesahan KUHP yang baru ini penuh liku, alih-alih banyak disetujui, justru menuai banyak penolakan.
Oleh kalangan masyarakat sipil, ada sejumlah aturan atau pasal yang dinilai rentan menjadi alat kriminalisasi. Mulai dari pasal izin demo, penghinaan terhadap Presiden atau lembaga negara, hingga hukuman untuk koruptor yang justru malah diturunkan dibanding aturan atau pasal lama.
Sementara kesampingkan dulu soal banyaknya penolakan maupun pasal-pasal kontroversi di KUHP. Simak bagaimana sejarah pembahasan RKUHP dimulai yang ternyata sudah sangat lama, melewati 7 kepemimpinan presiden hingga belasan menteri dan profesor.
Baca Juga: Aksi Tolak Pengesahan KUHP di Gedung DPR Dibubarkan Polisi, Korlap Dapat Pesan Minta Tenda Dibongkar
Sejarah Panjang Pembahasan RKUHP
Merunut sejumlah sumber, desakan untuk membuat KUHP yang baru muncul saat Seminar Hukum Nasional I yang diadakan pada 1963.
Pemerintah kemudian mulai merancang RKUHP sejak 1970 untuk mengganti KUHP yang berlaku saat ini.
Waktu itu, tim perancang diketuai oleh Prof. Sudarto dan diperkuat beberapa Guru Besar Hukum Pidana lain di Indonesia. Namun, upaya agar RKUHP tersebut diserahkan kepada DPR dan dibahas tidak kunjung terwujud.
Panjang jalan, hingga pada tahun 2004, tim baru pembuatan RKUHP dibentuk di bawah Prof. Dr Muladi, S.H. RKUHP tersebut baru diserahkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke DPR untuk dibahas delapan tahun kemudian atau pada 2012.
Baca Juga: Hukuman Penjara untuk Pelanggaran HAM Menjadi Ringan di KUHP Baru, KontraS: Pemerintah Serius Tidak?
DPR periode 2014-2019 kemudian menyepakati draf RKUHP dalam pengambilan keputusan tingkat pertama. Namun, timbul berbagai reaksi.
Gelombang protes terhadap sejumlah pasal RKUHP muncul dari masyarakat, termasuk dari para pegiat hukum dan mahasiswa.
Pada September 2019, Presiden Joko Widodo memutuskan untuk menunda pengesahan RKUHP dan memerintahkan peninjauan kembali pasal-pasal yang bermasalah.
Anggota DPR lalu secara resmi kembali melanjutkan pembahasan RKUHP bulan pada April 2020. Pembahasan pun terus bergulir hingga saat ini.
Secara umum, tidak ada perubahan substansi di dalam draf RKUHP yang telah disetujui pada tahun 2019. Awalnya, DPR menargetkan RKUHP disahkan bulan Juli 2022. Namun, RKUHP saat itu batal disahkan karena pemerintah masih melakukan sejumlah perbaikan.
Hingga akhirnya, Selasa, 6 Desember 2022 kemarin, menjadi hari bersejarah, jalan panjang pembahasan RKUHP berakhir dan resmi disahkan menjadi KUHP.
Melewati 7 Periode Presiden
Menyitat laman Ditjen Peraturan Perundang-Undangan, pembahasan RKUHP sendiri sudah sangat panjang, dimulai sejak tahun 1958 sampai dengan saat ini.
RKUHP sendiri merupakan masterpiece dan legacy dalam proses perubahan dari KUHP peninggalan kolonial menjadi hukum nasional.
RKUHP disusun dengan nilai-nilai keindonesiaan (Indonesian Way) yang merupakan sebuah upaya dekolonialisasi dalam sistem pidana Indonesia.
Selain itu, RKUHP juga mengedepankan demokratisasi di mana setiap pembahasan substansinya telah melalui periode 7 Presiden, 15 Menteri, serta 17 profesor dan ahli hukum pidana yang telah meninggal dunia dalam membahas RUU ini.
RKUHP juga menganut modernisasi sehingga nantinya kejahatan yang ancaman pidananya kurang dari 5 tahun tidak dipenjara, namun hanya dikenakan pidana pengawasan atau kerja sosial untuk pidana di bawah 6 (enam) bulan dalam rangka mengurangi overcapacity hunian Lembaga Pemasyarakatan.
KUHP juga tidak hanya fokus pada pelaku dan perbuatan yang dilakukan tetapi juga menyesuaikan dengan prinsip yang terdapat dalam Undang-Undang tentang Pemasyarakatan.
Sejarah KUHP Di Indonesia
Terdapat sejumlah pertimbangan yang menjadi alasan diperlukannya KUHP baru. KUHP yang ada saat ini dinilai sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Selain itu, KUHP yang digunakan sekarang juga dianggap tidak memiliki kepastian hukum.
Hal itu dikarenakan sejak kemerdekaan, pemerintah belum menetapkan terjemahan resmi Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI), nama asli KUHP. Akibatnya, terjadi multitafsir karena pemaknaan KUHP yang berbeda-beda.
KUHP merupakan induk peraturan hukum pidana di Indonesia. WvSNI merupakan turunan dari Wetboek van Strafrecht (WvS) yang diberlakukan di Belanda sejak tahun 1886.
Tetapi, pemerintah Belanda yang menduduki Indonesia saat itu menerapkan penyesuaian dalam memberlakukan WvS. Beberapa pasal dihilangkan dan disesuaikan dengan kondisi dan misi kolonialisme Belanda.
WvSNI diberlakukan di Indonesia sejak 1918. Saat itu, Indonesia yang dijajah Belanda masih bernama Hindia Belanda.
Pasca-kemerdekaan, pemerintah Indonesia mengganti sebutan WvSNI menjadi Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau KUHP pada 1946.